Senin, 22 November 2010

"School vs Learning"

Artikel tentang judul ini sebenernya udah lama pingin saya buat, tapi sekarang saya sudah mengebu-gebu sehabis membaca buku "Sekolah saja tidak pernah cukup" by Andrias Harefa. It's a nice book, ternyata yang ada diotak saya sekarang bukan cuma sekedar pendapat, mahasiswa tingkat 2 saja, bahkan orang-orang besar yang hanya saya kenal lewat nama dan karyanya juga memiliki pemikiran yang serupa.
Sekolah, ya tiap kita yang beruntung pasti pernah duduk dibangku sekolah, mandengarkan materi dari guru, mengerjakan tugas mandiri atau kelompok, ujian, dan akhirnya mendapatkan nilai itulah sekolah. Berbeda dengan belajar yang dalam bahasa inggrisnya "learning", belajar tidak perlu duduk dibangku sekolah, belajar tidak butuh biaya besar, belajar tidak untuk mendapatkan nilai, tapi belajar butuh kerja keras, semangat dan kemauan untuk bisa. Merubah diri menjadi lebih baik dan menyelesaikan problematika kehidupan itulah tujuan belajar. Parameternya bukan nilai, raport, NEM, IPK atau ijasah, melainkan kepuasan dalam diri anda karena telah bertransformasi menjadi "better person".
"mau dibawa kemana rumus ini?"
Itu semua hanya beberapa dari pendapat saya, lantas bagaimana dengan yang ada dilapangan?? ouh ternyata sangat tidak sesuai dengan harapan saya, dan terkadang saya juga 'terpaksa' melakukan konsep belajar disekolah karena itu tuntutan pasar. Disekolah sering dosen atau guru menjelaskan suatu materi yang terkadang beliau pun bingung dalam pengaplikasiannya. Saya ambil contoh ketika pelajaran matematika kelas 2sma saya mendapatkan materi tentang trigonometri, materi itu cukup sulit bagi saya dan sebagian teman-teman saya. Saat itu kami disuruh menghapal sekitar 20 rumus yang cukup panjang lalu merubah-rubah bentuk persamaan trigonometri tersebut dengan memadukan perbagai rumus, entah apa dan mau dibawa kemana trigonometri tersebut?! (hwakwkak kayak lagu ya). Saking sulitnya seorang teman saya bertanya kepada guru matematika tersebut "Bu buat apa sih kita beajar trigonometri ribet2 gini?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Lalu guru tersebut berkata "Buat ngencer-ngencerin otak" jawab beliau dengan wajah yang agak bingung. Begitu juga di kelas manajemen keuamgan seorang dosen menjelaskan tentang definisi, sifat-sifat dan segala hal tentang sahm dan obligasi, anak-anak sekelas bisa dibuat paham oleh pengajarannya. Namun ketika seorang anak bertanya "Bu kalau anda disuruh memilih apa akan memilih obligasi atau saham?". Beliau cukup bingung dan agak kaget dengan pertanyaan itu lalu menjawabnya "Saya tidak tahu", dan malah beralih ke topik lain yang secara tidak langsung ingin menjawab pertanyaan itu namun beliau tidak tegas dalam menentukan pendapatnya. Itu hanya sebagian kecil dari kelemahan sekolah konvensional.Ya memang dapat dipahami bahwa sebenarnya guru dan dosen hanya manusia biasa yang  sama seperti kita banyak kekurangannya. Belum lagi dengan tindakan-tindakan seperti nyontek, meniru, memplagiat karya orang lain yang dihalalkan dalam dunia persekolahan. Dan saya juga pernah melakukannya karena tuntutan pasar yang begitu mendesak. Ingin keluar dari semua itu karena saya bosan dan setelah melakukannya terkadang hati terasa berat dan tidak mencapai maximum utility kalau dalam mikro ekonomi.
Begitulah dunia saat ini belajar disekolah sangat menjenuhkan. Ya, saya butuh refreshing dalam dunia belajar dan tidak hanya butuh sekolah biasa. Learning organization yang begitu dinamis mungkin itu yang saya butuh untuk belajar, tapi sulit menemukannya di tempat ini, background psikografis kami mungkin itu alasannya yang saya akan kemukakan di posting berikutnya. Thanks blogger to give me an opportunity to speak up..!
Muach..GBu:)

1 komentar:

  1. Ouh ini toh blog mu,,
    Gw suka tulisan lu, apalagi pas lu bilang "tuntutan pasar". Hahahaha.... Setuju.....

    Jdi inget pelajrny bu fera.
    Xixixi...

    BalasHapus